SEBUAH CERITA
LAMPAU
Pertemuan selalu dikaitkan dengan perpisahan.
Kehidupan pula sering kali dikaitkan dengan kematian.
Memang begitu lumrah alam. Namun dibalik ketentuan,
Yang sudah ditakdirkan untuk setiap hambanya memang tidak dapat
dielakkan.
-oleh: Noni Triana Handayani-
Namaku Noni Triana Handayani, aku
adalah anak ke-3 yang lahir layaknya peri kecil yang membawa kebahagiaan bagi
orang tua dan semua sanak saudara. Keluargaku ini terdiri dari 1 ayah, 1 ibu,
dan 4 orang saudara perempuan. Nama ayahku Suyatno, beliau bekerja di bank
sebagai kasir. Nama ibuku Suartini, dulu nama ibuku Ni Nyoman Suartini, dia
mengganti namanya menjadi Suartini sejak pernikahannya dengan ayahku yang
ditakdirkan dengan indahnya oleh Allah.swt. Sebelum aku menginjakkan kaki
mungilku di dunia yang bernama bumi, ibuku adalah wanita yang lahir di keluarga
beragama Hindu dan bertempat tinggal di Bali, sementara ayahku adalah pria
beragama Islam yang tinggal bersama orang tuanya di Jakarta. Saat ayahku mendapat pekerjaan tetap
di Bali, beliau harus pindah dan meninggalkan
keluarganya sementara untuk menjadi orang yang sukses dan bisa membahagiakan
orang tuanya. Selama kehidupannya yang naik turun di kota orang itu, ayahku bertemu dengan ibuku
dan mereka saling jatuh cinta. Lalu mereka menikahlah dengan bahagianya dan
ibuku pindah ke agama Islam, dan lahirlah anak pertama, kedua, ketiga, keempat
yang lahir dengan selamat dan membawa kebahagiaan. Kami menjalani hari-hari
yang sangat bahagia, bermain bersama teman-teman kesayangan, berkumpul bersama
keluarga yang penuh dengan canda tawa, hari-hari dimana semuanya terlihat
seperti di surga.
Pada
tahun 2002, ayahku mendapat kenaikan pangkat dengan syarat beliau harus pindah
ke Jakarta.
Setelah banyaknya kebingungan yang melanda, kami semua sepakat untuk mencoba
pindah ke Jakarta.
Karna kepindahan yang mendadak ini, aku harus berpisah dengan teman dan semua
saudara yang kami sayangi, bahkan aku pun harus pindah sekolah. Sebelum kepindahan,
kami mengadakan pesta perpisahan kecil dirumah, semua teman sekolah sampai
tetangga dan saudara kami semuanya datang. Kami menghabiskan waktu bersama,
bermain permainan unik, bernyanyi, berdansa dan bercengkrama bersama di malam
yang ditemani bermilyaran bintang itu. Kami menerima banyak doa dari mereka,
kami saling mendoakan dan tidak ingin melepaskan satu sama lain. Aku tidak bisa
melupakan semua kejadian manis ini, ini adalah cerita kami yang sudah
ditakdirkan oleh Allah dengan indahnya.
Keesokan
harinya, di pagi yang bermandikan sinar
matahari, kami sudah harus meninggalkan tempat lahir yang kami cintai.
Kepergian kami diantar oleh semua sanak saudara. Sambil menahan air mata yang
bergenang, aku memeluk semua saudaraku dengan rasa penuh cinta. Saat roda mobil
mulai melaju, aku menengok ke belakang dan melihat saudaraku yang hanya bisa
menatap kepergian kami, dengan air mata mengalir di pipi mungilku, aku
melambaikan tangan dan tersenyum dengan hangat kepada mereka. Mereka pun
membalas senyumanku dan melambaikan tangan keatas dengan sekuat tenaga.
Setibanya
di kota Jakarta,
kami disambut oleh semua keluarga dengan hangat. Aku pun memulai hidup baru
dengan teman-teman yang berwajah baru pula. Aku menjalani hari-hariku seperti
biasanya, walaupun di hatiku ada banyak sekali ruang yang hampa dan rasa
kehilangan karna harus berpisah dengan keluarga di Bali.
Sudah 3 minggu berlalu semenjak perpisahan kami yang menggetarkan hati. Pada
minggu ke-empat, ibuku berbicara kepada ayahku bahwa beliau ingin menengok
orang tuanya di Bali. Tentu saja, ayahku dan
orang tuanya tidak mengizinkan dan meminta ibuku untuk menunggu setahun lagi.
Tetapi, ibuku tetap bersikeras untuk pulang sementara ke kampung halamannya.
Tidak tahu apalagi yang harus dilakukan, ayahku akhirnya menyetujui permohonan
ibuku. Pada pagi harinya, ibuku pun berangkat naik bis travel untuk menemui
orang tuanya.
Setelah
seminggu semenjak kepergian ibuku ke Bali, kami menerima kabar bahwa beliau
akan ke Jakarta
lagi keesokan harinya pada pagi hari. Aku pun senang sekali mendengar kabar
tersebut, tetapi aku sebenarnya bingung antara senang dan ingin menangis,
seperti mendapat telepati, saat itu juga, akhirnya aku menangis tersedu-sedu
memikirkan ibuku. Tetapi berulang kali aku menyadarkan diriku bahwa semuanya
akan baik-baik saja. Karna lelah menangis, akupun tertidur lelap dengan mata
yang sembab bagaikan buah manggis. Sekitar pukul dua pagi, aku tersadar bahwa
ayahku tidak ada disampingku saat aku terlelap. Setelah aku sadari, kakak-kakak
ku pun tidak ada di kamarnya, akupun tidak dapat berbuat apa-apa dan hanya bisa
menunggu sampai seseorang datang. Tidak lama sesudahnya, tanteku datang
menghampiriku untuk membawaku ke kamar tanteku tersebut. Setibanya di kamar
tante, aku menemui kakak-kakakku yang sedang tidur lelap. Aku ingin melanjutkan
tidurku, tetapi mataku yang bulat ini tidak bisa dipejamkan. Aku pun akhirnya
memutuskan untuk keluar dari kamar tersebut.
Saat
aku keluar. Aku melirik ke halaman depan dan melihat banyak sekali kursi
plastik yang berbaris layaknya semut kecil, aku melanjutkan langkahku ke ruang
tamu dan melihat sebuah ranjang kayu beralaskan tikar, serta sebuah jendela
tanpa kaca. Semua nampak aneh dan asing. Aku pun memberanikan diri untuk
bertanya kepada nenekku, tetapi beliau hanya menjawab bahwa itu kerjaan
tetangga sebelah. Menurutku itu tidak masuk akal. Tetapi akupun tidak begitu
peduli apa yang sedang terjadi dengan semua keanehan itu. Subuh pun berlalu dan
matahari menunjukkan dirinya. Pagi itu aku melihat semua orang berkeliaran
dengan sibuknya, dan banyak sekali tetangga yang datang. Melepas semua
keheranan itu, aku langsung beranjak dari ruang keluarga kembali keatas dan
mandi layaknya seorang diva untuk menyegarkan diri dan pikiran. Setelah mandi,
berpakaian bagus dengan wangi segar bagaikan aroma bunga chamomile, aku kembali
turun kebawah dan melihat ada keramaian di kamar pamanku. Dengan rasa ingin
tahu yang melunjak, aku menghampiri kamar tersebut dan melihat semua
kakak-kakakku beserta kakek, nenek, paman, bibi, dan ayahku sedang menangis.
Seperti langit yang bertempur dengan kilat, aku langsung dapat membaca apa yang
sedang terjadi. Tanpa berfikir lagi, aku langsung menangis menjerit nama ibuku.
Ya. Ibuku telah meninggal dunia yang disebabkan oleh kecelakaan bis saat perjalanan
pulang ke Jakarta.
Di waktu itu, dan di kamar itulah kami bagaikan awan yang menangis. Dua tahun
berlalu semenjak kepergian ibuku. Ayahku menikah lagi dengan seorang wanita
bernama Ifka, dan dikarunia 2 orang anak. Beruntungkami mendapatkan ibu tiri
yang baik. Kadang aku selalu berfikir, apa yang akan terjadi bila ibuku masih
hidup. Aku pun sadar bahwa kita harus selalu kuat dan tegas dalam menjalani
hidup yang sudah direncanakan oleh Allah. (nth)