Saturday, October 27, 2012

THE GREATEST FAMILY



SEBUAH   CERITA   LAMPAU
                                                                                                              
Pertemuan selalu dikaitkan dengan perpisahan.
Kehidupan pula sering kali dikaitkan dengan kematian.
Memang begitu lumrah alam. Namun dibalik ketentuan,

pasti ada hikmah yang tersembunyi.
Yang sudah ditakdirkan untuk setiap hambanya memang tidak dapat dielakkan. 
      -oleh: Noni Triana Handayani-




Namaku Noni Triana Handayani, aku adalah anak ke-3 yang lahir layaknya peri kecil yang membawa kebahagiaan bagi orang tua dan semua sanak saudara. Keluargaku ini terdiri dari 1 ayah, 1 ibu, dan 4 orang saudara perempuan. Nama ayahku Suyatno, beliau bekerja di bank sebagai kasir. Nama ibuku Suartini, dulu nama ibuku Ni Nyoman Suartini, dia mengganti namanya menjadi Suartini sejak pernikahannya dengan ayahku yang ditakdirkan dengan indahnya oleh Allah.swt. Sebelum aku menginjakkan kaki mungilku di dunia yang bernama bumi, ibuku adalah wanita yang lahir di keluarga beragama Hindu dan bertempat tinggal di Bali, sementara ayahku adalah pria beragama Islam yang tinggal bersama orang tuanya di Jakarta. Saat ayahku mendapat pekerjaan tetap di Bali, beliau harus pindah dan meninggalkan keluarganya sementara untuk menjadi orang yang sukses dan bisa membahagiakan orang tuanya. Selama kehidupannya yang naik turun di kota orang itu, ayahku bertemu dengan ibuku dan mereka saling jatuh cinta. Lalu mereka menikahlah dengan bahagianya dan ibuku pindah ke agama Islam, dan lahirlah anak pertama, kedua, ketiga, keempat yang lahir dengan selamat dan membawa kebahagiaan. Kami menjalani hari-hari yang sangat bahagia, bermain bersama teman-teman kesayangan, berkumpul bersama keluarga yang penuh dengan canda tawa, hari-hari dimana semuanya terlihat seperti di surga.
                Pada tahun 2002, ayahku mendapat kenaikan pangkat dengan syarat beliau harus pindah ke Jakarta. Setelah banyaknya kebingungan yang melanda, kami semua sepakat untuk mencoba pindah ke Jakarta. Karna kepindahan yang mendadak ini, aku harus berpisah dengan teman dan semua saudara yang kami sayangi, bahkan aku pun harus pindah sekolah. Sebelum kepindahan, kami mengadakan pesta perpisahan kecil dirumah, semua teman sekolah sampai tetangga dan saudara kami semuanya datang. Kami menghabiskan waktu bersama, bermain permainan unik, bernyanyi, berdansa dan bercengkrama bersama di malam yang ditemani bermilyaran bintang itu. Kami menerima banyak doa dari mereka, kami saling mendoakan dan tidak ingin melepaskan satu sama lain. Aku tidak bisa melupakan semua kejadian manis ini, ini adalah cerita kami yang sudah ditakdirkan oleh Allah dengan indahnya.
                Keesokan harinya, di  pagi yang bermandikan sinar matahari, kami sudah harus meninggalkan tempat lahir yang kami cintai. Kepergian kami diantar oleh semua sanak saudara. Sambil menahan air mata yang bergenang, aku memeluk semua saudaraku dengan rasa penuh cinta. Saat roda mobil mulai melaju, aku menengok ke belakang dan melihat saudaraku yang hanya bisa menatap kepergian kami, dengan air mata mengalir di pipi mungilku, aku melambaikan tangan dan tersenyum dengan hangat kepada mereka. Mereka pun membalas senyumanku dan melambaikan tangan keatas dengan sekuat tenaga.
                Setibanya di kota Jakarta, kami disambut oleh semua keluarga dengan hangat. Aku pun memulai hidup baru dengan teman-teman yang berwajah baru pula. Aku menjalani hari-hariku seperti biasanya, walaupun di hatiku ada banyak sekali ruang yang hampa dan rasa kehilangan karna harus berpisah dengan keluarga di Bali. Sudah 3 minggu berlalu semenjak perpisahan kami yang menggetarkan hati. Pada minggu ke-empat, ibuku berbicara kepada ayahku bahwa beliau ingin menengok orang tuanya di Bali. Tentu saja, ayahku dan orang tuanya tidak mengizinkan dan meminta ibuku untuk menunggu setahun lagi. Tetapi, ibuku tetap bersikeras untuk pulang sementara ke kampung halamannya. Tidak tahu apalagi yang harus dilakukan, ayahku akhirnya menyetujui permohonan ibuku. Pada pagi harinya, ibuku pun berangkat naik bis travel untuk menemui orang tuanya.
                Setelah seminggu semenjak kepergian ibuku ke Bali, kami menerima kabar bahwa beliau akan ke Jakarta lagi keesokan harinya pada pagi hari. Aku pun senang sekali mendengar kabar tersebut, tetapi aku sebenarnya bingung antara senang dan ingin menangis, seperti mendapat telepati, saat itu juga, akhirnya aku menangis tersedu-sedu memikirkan ibuku. Tetapi berulang kali aku menyadarkan diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Karna lelah menangis, akupun tertidur lelap dengan mata yang sembab bagaikan buah manggis. Sekitar pukul dua pagi, aku tersadar bahwa ayahku tidak ada disampingku saat aku terlelap. Setelah aku sadari, kakak-kakak ku pun tidak ada di kamarnya, akupun tidak dapat berbuat apa-apa dan hanya bisa menunggu sampai seseorang datang. Tidak lama sesudahnya, tanteku datang menghampiriku untuk membawaku ke kamar tanteku tersebut. Setibanya di kamar tante, aku menemui kakak-kakakku yang sedang tidur lelap. Aku ingin melanjutkan tidurku, tetapi mataku yang bulat ini tidak bisa dipejamkan. Aku pun akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamar tersebut.
                Saat aku keluar. Aku melirik ke halaman depan dan melihat banyak sekali kursi plastik yang berbaris layaknya semut kecil, aku melanjutkan langkahku ke ruang tamu dan melihat sebuah ranjang kayu beralaskan tikar, serta sebuah jendela tanpa kaca. Semua nampak aneh dan asing. Aku pun memberanikan diri untuk bertanya kepada nenekku, tetapi beliau hanya menjawab bahwa itu kerjaan tetangga sebelah. Menurutku itu tidak masuk akal. Tetapi akupun tidak begitu peduli apa yang sedang terjadi dengan semua keanehan itu. Subuh pun berlalu dan matahari menunjukkan dirinya. Pagi itu aku melihat semua orang berkeliaran dengan sibuknya, dan banyak sekali tetangga yang datang. Melepas semua keheranan itu, aku langsung beranjak dari ruang keluarga kembali keatas dan mandi layaknya seorang diva untuk menyegarkan diri dan pikiran. Setelah mandi, berpakaian bagus dengan wangi segar bagaikan aroma bunga chamomile, aku kembali turun kebawah dan melihat ada keramaian di kamar pamanku. Dengan rasa ingin tahu yang melunjak, aku menghampiri kamar tersebut dan melihat semua kakak-kakakku beserta kakek, nenek, paman, bibi, dan ayahku sedang menangis. Seperti langit yang bertempur dengan kilat, aku langsung dapat membaca apa yang sedang terjadi. Tanpa berfikir lagi, aku langsung menangis menjerit nama ibuku. Ya. Ibuku telah meninggal dunia yang disebabkan oleh kecelakaan bis saat perjalanan pulang ke Jakarta. Di waktu itu, dan di kamar itulah kami bagaikan awan yang menangis. Dua tahun berlalu semenjak kepergian ibuku. Ayahku menikah lagi dengan seorang wanita bernama Ifka, dan dikarunia 2 orang anak. Beruntungkami mendapatkan ibu tiri yang baik. Kadang aku selalu berfikir, apa yang akan terjadi bila ibuku masih hidup. Aku pun sadar bahwa kita harus selalu kuat dan tegas dalam menjalani hidup yang sudah direncanakan oleh Allah.  (nth)